Art_Ca 417 Management:
K.H. Muhammad Thahir adalah ulama kharismatik di tanah mandar, lahir pada tahun 1838 M. Beliau seorang imam di desa lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai ketanah bugis.Keluarga Imam Lapeo berakar dari sebuah kampung tua yang sejak dulu menjadi tanah kelahiran tokoh-tokoh di Tana Mandar. Kampung itu bernama Pambusuang. Seorang tokoh nasional yang pernah lahir di kampung ini adalah Almarhum Baharuddin Lopa (mantan Jaksa Agung RI). Pambusuang saat ini sudah menjadi kota kecamatan Pambusuang dalam wilayah Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Propinsi Sulawesi Barat.
Ayahanda Imam Lapeo bernama H.Muhammad bin Abd.Karim bin Aba Talha. Ayahanda Imam Lapeo mempunyai dua saudara yakni yang dikenal dengan panggilan Kanne Paung dan Kanne Kina. Kanne Paung tidak memiliki keturunan sedangkan Kanne Kina kemudian mempunyai anak cucu yang berkembang di Pambusuang sebagai sepupu-sepupu Imam Lapeo. Sedangkan ibunda Imam Lapeo bernama Siti Rajiah berasal dari keturunan hadat Tenggelang, sebuah wilayah yang saat ini berada di Kecamatan Campalagian Kab. Polman. Sebagaimana dalam silsilah keturunan yang paternalistik, silsilah keturunan Ibu kurang dikembangkan sehingga sampai saat ini belum ada yang mencoba menggambarkan sepupu-sepupu Imam lapeo dari garis Ibu.
Dalam kehidupannya Imam Lapeo telah menikah sebanyak enam kali. Tiga dari perkawinan beliau tidak mendapatkan anak keturunan.
Imam Lapeo sukses dalam dakwahnya sehingga mereka bertaubat, dan inilah yang menjadi salah satu alasan nama masjidnya Masjid Jami’ At-Taubah Lapeo, kemudian dialihkan namanya masjid Nuruttaubah Lapeo.
Dalam menyebarkan agama Islam berbagai cara yang ditempuh oleh imam lapoe, dimana ia menarik perhatian masyarakat atau orang disekitarnya dalam mengajarkan agama, secara bartahap beliau mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Beliau mengajak masyarakat sekitar membangun mesjid tetapi dalam kenyataannya tak semudah dibayangkan. Imam Lapeo harus berhadapan dengan maraknya perjudian, ramainya warga Mandar yang masih mabuk-mabukkan dengan minuman kebanggaannya adalah Manyang Pai’. (Tuak).
Masyarakat sendiri secara bertahap menghilangkan kebiasaan yang mereka lakukan. Bukan hanya dengan mengajak masyarakat di sekitarnya membangun masjid Imam Lapeo juga sering bertamu di rumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga terkadang masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan petunjuk jika ada masalah yang mereka hadapi atau mempunyai keiinginan. Beliau juga terkenal dengan sikap dermawannya sampai-sampai beliau berhutang jika ada masyarakat yang memerlukan bantuan. Hal ini dituturkan oleh penulis sejarah Imam Al-Lapeo.
Dalam buku yang memuat tentang perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri Syarifuddin Muhsin, ada 74 karamah (kelebihan) dalam kisah hidup Imam Lapeo. Sebagian di antaranya, menyelamatkan orang tenggelam, melerai perkelahian di Parabaya, menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan Arajang Balanipa, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti (guna-guna), sholat jum'at pada tiga tempat pada waktu bersamaan, menebang kayu dengan tangisan bayi.
Peran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan karamah kesufian yang ada pada dirinya. Misalnya, tangannya kebal terhadap api. Diceritakan, selama belajar di hadapan Sayyid Alwi bin Sahil Jamalulail, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta terhadap gurunya dalam berbagai perjalanan.
Saat sang guru Sayyid Alwi bin Sahil Jamalulail bersama muridnya Imam Lapeo melakukan perjalanan antara Mekkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka singgah istirahat dan berkemah di jalanan. Ketika itu, sang gurunya mengetahui Imam Lapeo mengisap rokok. Sang Guru langsung mengambil rokok tersebut dari tangannya, dan rokok yang terbakar itu ditekankan ke telapak tangan muridnya. Dalam keadaan demikian, Imam Lapeo tidak merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya sampai semuanya selesai.
Sementara, pengalaman pertama Imam Lapeo ketika baru saja berada di Mandar, adalah penduduk setempat mencoba mengujinya, melakukan semacam permainan berbahaya. Waktu itu, Imam Lapeo sedang khutbah di atas mimbar pada hari Jumat, dan bersamaan itu pula muncul suatu gumpalan api yang sangat tajam cahayanya.
Gumpalan api yang pada mulanya laksana sebutir telur yang sinarnya sangat tajam itu, tiba-tiba menjadi besar dan bergerak dari depan dengan kencangnya menuju ke hadapan Imam Lapeo. Pada saat menentukan, dan sejengkal lagi gumpalan api itu mengenai mukanya, Imam Lapeo hanya bergerak dengan isyarat matanya. Akhirnya gumpalan api itu menyingkir dari hadapannya dan mengenai tembok di belakang mimbar. Tembok masjid tersebut hancur rata dengan tanah.
Kisah lain adalah, Imam Lapeo menundukkan ular. Suatu ketika, Imam Lapeo diundang mengahadiri pesta walimah di Tapalang, daerah Mamuju. Ketika resepsi makan dimulai, tiba-tiba muncul ular-ular di piringnya yang ingin digunakannya untuk makan. Ular-ular tersebut, tiada lain dari orang tertentu yang konon kabarnya ingin mempermalukan Imam Lapeo di tengah pesta.
Karomah yang lain Imam Lapeo waktu itu sekitar tahun 60an masjid lapeo sedang dibangun disamping makam lapeo namun terhambat masalah dana akhirnya tidak lama kemudian datang beberapa unit truck dari makassar membawa semen pasir dan beberapa bahan bangunan yang lain, warga sekitar heran karena tidak ada satupun dari mereka yang memesan apalagi dana tidak ada. Mereka memutuskan untuk membicarakannya di rumah salah satu warga di sana,ketika ditanyakan tentang siapa orang misterius yang memesan bahan bangunan ini,si supir mengatakan bahwa yang memesan adalah seorang kakek berpakaian serba putih bersorban dan kebetulan si supir melihat foto imam lapeo yang ada di lama rumah warga tersebut,dan mengatakan bahwa orang itulah yang memesan bahan bangunan.
Imam Lapeo sebagai ulama sufi yang tawadhu, hanya menyaksikan ular-ular itu
meliuk-liukkan badannya, sampai akhirnya jumlah ular bertambah banyak dan
meloncat-loncat. Walhasil, hanya dengan mengancam ular-ular itu dengan memberi
isyarat, maka dengan seketika ular-ular tadi hilang dengan sendirinya.
Selain itu, sepeninggalan beliau, hingga saat ini, kuburannya banyak didatangi orang. Ada suatu kaedah dalam kewalian dan kesufian yang menyatakan seorang waliyullah apabila nampak karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya. Maka akan nampak pula keramat pada waktu sesudah matinya.
Seorang sufi, apabila dikunjungi orang pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak orang sesudahnya matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo, dimana kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah.
Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering direduksi dan dibumbui dengan hal-hal yang berbau supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di tiga tempat sekaligus; menaklukkan para tukang Doti, namun intelektual sekelas Emha Ainun Najib meyakini kisah-kisah Imam Lapeo.
Ada banyak nelayan Mandar yang percaya, bila terhadang badai di tengah laut, mengingat sang panrita untuk kemudian memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai. Ya, itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo sebagai ulama berkaramah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di dinding rumah.
K. H. Muhammad Thahir adalah ulama yang tidak mendakwah dalam lisan saja. Dia juga ulama yang konkrit peranannya. Di tengah masa penuh kesulitan (perang, sarana transportasi yang tidak memadai, penduduk pribumi yang belum mengamalkan Islam). K. H. Muhammad Thahir bermukim di banyak kampung di pesisir Sulawesi Barat, hingga ke Bambang Loka. Menurut hasil pencatatan anak cucunya, setidaknya ada 17 mesjid yang tersebar di pesisir Sulbar yang pembangunannya diprakarsai oleh K. H. Muhammad Thahir. Sepertinya belum ada ulama, tokoh, dan pejabat di Sulbar yang bisa menyamai rekor Imam Lapeo
Selain itu, sepeninggalan beliau, hingga saat ini, kuburannya banyak didatangi orang. Ada suatu kaedah dalam kewalian dan kesufian yang menyatakan seorang waliyullah apabila nampak karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya. Maka akan nampak pula keramat pada waktu sesudah matinya.
Seorang sufi, apabila dikunjungi orang pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak orang sesudahnya matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo, dimana kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari tertentu, misalnya pada saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah kembali dari tanah suci Mekkah.
Walaupun kiprah dan perjuangan Imam Lapeo sering direduksi dan dibumbui dengan hal-hal yang berbau supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di tiga tempat sekaligus; menaklukkan para tukang Doti, namun intelektual sekelas Emha Ainun Najib meyakini kisah-kisah Imam Lapeo.
Ada banyak nelayan Mandar yang percaya, bila terhadang badai di tengah laut, mengingat sang panrita untuk kemudian memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai. Ya, itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo sebagai ulama berkaramah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di dinding rumah.
K. H. Muhammad Thahir adalah ulama yang tidak mendakwah dalam lisan saja. Dia juga ulama yang konkrit peranannya. Di tengah masa penuh kesulitan (perang, sarana transportasi yang tidak memadai, penduduk pribumi yang belum mengamalkan Islam). K. H. Muhammad Thahir bermukim di banyak kampung di pesisir Sulawesi Barat, hingga ke Bambang Loka. Menurut hasil pencatatan anak cucunya, setidaknya ada 17 mesjid yang tersebar di pesisir Sulbar yang pembangunannya diprakarsai oleh K. H. Muhammad Thahir. Sepertinya belum ada ulama, tokoh, dan pejabat di Sulbar yang bisa menyamai rekor Imam Lapeo
Menurut beliau sendiri dalam pengakuannnya guru-gurunya adalah:
1. Ayahnya sendiri, Muhammad (Penghafal Al-Qur’an)
2. Kakenya, Abdul Karim/Sapparaja/Kanne’ Buta (penghafal Al-Qur;an)
3. Guru Langgo’ di Pambusuang.
4. Guru-guru di pulau Salemo (Pangkep)
1. Ayahnya sendiri, Muhammad (Penghafal Al-Qur’an)
2. Kakenya, Abdul Karim/Sapparaja/Kanne’ Buta (penghafal Al-Qur;an)
3. Guru Langgo’ di Pambusuang.
4. Guru-guru di pulau Salemo (Pangkep)
5. Guru-guru di Pare-Pare antara lain Al Yafi’I (ayahanda Prof. H. M. Ali Al Yafi’)
6. Guru-guru di pulau Madura (antara lain K.H. Kholil Bangkalan) dan pulau Jawa.
7. Guru-guru di Singapura, Malaka dsb.
8. Guru-guru di Padang (Sumatra Barat)
9. Habib Sayyid H.M. Alwi bin Sahal Jamalul Lail
10. Syekh Hasan Al Yamani
11. Dan lain-lain.
Imam Lapeo wafat pada usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo
(sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman Masjid
Nur Al-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal
dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang
tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak dikunjungi/diziarahi oleh
masyarakat yang datang dari berbagai daerah.