Art_Ca 417 Management:
Sekilas pasti teman-teman asing dengan budaya ini kan?.
Inilah salah satu alasan kami menulis tentang “budaya mandar” agar pengetahuan
kita tentang budaya makin bertambah, dan ini menandakan bahwa negara kita
memiliki banyak budaya yang kita sebagai generasi muda harus melestarikan
budaya agar tidak lenyap ditelan zaman minimal kita lestarikan budaya daerah
kita.
Budaya mandar adalah budaya yang ada di provinsi sulawesi barat, dan masyarakatnya senantiasa melestarikan budaya tersebut tetapi sekarang sebagian daerah sudah mengkolaborasikan dengan sentuhan-sentuhan modern.
Mengenai budaya mandar, sangat banyak budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat disana. Tapi kami mengambil hanya satu sample saja yaitu sayyang pattudu yang artinya kuda menari .
Sayyang pattudu (kuda menari), begitulah masyarakat suku mandar, Sulawesi Barat menyebut acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Alquran. Masyarakat di Sulawesi Barat tamat Alquran adalah sesuatu yang sangat istimewa, dan perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat sayyang pattudu. Pesta ini diadakan sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid/Rabiul Awwal (kalender hijriyah). Dalam pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang sedang mengikuti acara tersebut.
Bagi masyarakat Mandar, khatam Alquran dan upacara adat sayyang pattudu memiliki pertalian yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Acara ini mereka tetap lestarikan dengan baik. Bahkan masyarakat suku mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali kekampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaraan acara ini sudah berlangsung lama, tapi tidak ada yang tahu pasti kapan acara ini diadakan pertama kali. Jejak sejarah yang menunjukkan awal pelaksanaan dari kegiatan ini belum terdeteksi oleh para tokoh masyarakat dan para sejarawan.
Keistimewaan dari acara ini adalah ketika puncak acara khatam Al-Quran dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu dengan daya tarik tersendiri. Acara ini dimeriahkan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang menyelesaikan khatam Alquran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias dengan sedemikian rupa.
Kuda-kuda tersebut juga terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar (kalinda’da’) yang mengiringi arak-arakan tersebut.
Ketika duduk diatas kuda, para peserta yang ikut pesta Sayyang Pattudu harus mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk kebelakang, lutut menghadap kedepan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan keatas dan telapak kaki berpijak pada punggung Kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.
Peserta sayyang pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya keatas sembari menggoyang-goyangkan kaki dang menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang menawan dan harmonis.
Ketika acara sedang berjalan dengan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue yang akan dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji diatas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.
Rangkaian acara tahunan ini, diikuti oleh sekitar 50 orang peserta tiap tahunnya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada didesa tersebut, diantara para peserta ada juga yang datang dari desa atau kampung sebelah. Bahkan ada yang datang dari luar kabupaten,maupun luar provinsi Sulawesi Barat.
Pelaksanaan atau lokasi pesta adat Sayyang Pattudu biasanya diadakan didesa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
oleh Hasran Halim
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Tentang Sayyang Pattudu dari Polewali Mandar
Dua kuda itu langsung menggoyang-goyangkan kepalanya saat rebana-rebana itu berbunyi. Rebana yang ditabuh oleh sebelas bocah cilik yang lincah dan bersemangat itu seolah mengalunkan irama-irama magis yang mampu menggerakan kuda-kuda yang tengah menyambut Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh beserta rombongan saat tiba di lokasi acara deklarasi Nasional Demokrat provinsi Sulawesi Barat, beberapa waktu yang lalu. Saat bunyi rebana menghilang maka sang kuda pun akan menghentikan tariannya.
“Kuda menari” yang oleh warga Mandar, Sulawesi Barat, disebut dengan Sayang Pattudu itu, disiapkan untuk menyambut kedatangan tamu kehormatan bagi warga Polewali Mandar itu. Biasanya, pesta adat ini memang diadakan pada saat tertentu yang dipandang istemewa.
Sayyang Pattudu biasanya diadakan dalam rangka mensyukuri khatamnya anak-anak membaca Al Quran. Bagi warga Mandar, khatam Quran adalah momen yang istimewa sehingga perlu dirayakan. Bagi mereka, ada pertalian yang erat antara Sayyang Pattudu dengan momen khatam Quran ini.
Sayyang Pattudu atau bisa disebut Kuda Pattudu adalah kesenian asli masyarakat Mandar, Sulawesi Barat. Menurut Sahabudin Mahganna, seorang pegiat budaya, kesenian ini bermula dari para rombongan kerajaan yang melakukan perjalanan jauh dengan kuda. Selesai istirahat, saat mereka akan melanjutkan perjalanan, harus ada bunyi-bunyian yang agar kuda-kuda yang mereka tunggangi menjadi bersemangat. “Saat itulah didapati bahwa yang bisa menyatu dengan kuda-kuda itu adalah bunyi ritmis rebana yang berunyi akibat dari getar membran,” demikian Sahabudin menerangkan.
Bermula dari itulah seni-budaya tradisional yang pernah menjuarai Pentas Budaya Nasional di Jakarta pada tahun 2008 ini terus dikembangkan dan menjadi identitas budaya Suku Mandar.
Pada acara ini akan ada dua penunggang yang kesemuanya adalah wanita. Hanya saja, wanita yang duduk di depan adalah wanita dewasa sementara yang dibelakangnya adalah seorang gadis belia. Saat kedua penunggang ini menaiki sang kuda, mereka tidak akan langsung duduk. Mereka akan terlebih dahulu untuk melakukan prosesi untuk berdoa selama beberapa saat. Selain itu kedua penunggang kuda harus mengenakan pakaian tradisional setempat.
Ketika kedua penunggang itu bersiap maka tabuh rebana pun siap dikumandangkan. Menurut Sahabudin, hanya suara rebana ini saja yang bisa menggerakkan kuda-kuda ini untuk bergoyang. “Suara yang lain tidak akan bisa,” katanya.
Entah apa yang membuat keistimewaan ini, tetapi itulah yang ada. Memang, rebana yang mengiringi sang kuda untuk menari ini bukan sembarang rebana. Rebana ini disebut Rebana Rawanawu. “Ini adalah rebana khas orang Mandar,” kata Sahab, panggilan akrabnya.
Menurut jebolan jurusan musik Universitas Negeri Makasar tiga tahun yang lalu ini, Rawanawu adalah musik gabungan dari Arab (Islam) dengan budaya setempat.
Jenis alat musik ini mulai ada di wilayah Mandar sekitar abad ke 17. Oleh para pembawanya, agama Islam disiarkan dengan alat musik ini. Dalam perkembangannya Rawanawu tidak hanya terdiri atas rebana saja melainkan ada calong, tamborin, dan gero-gero.
Calong adalah alat musik yang terbuat dari bambu. Wujudnya mirip dengan calung, alat musik tradisional dari Sunda. Hanya saja calong lebih sederhana dibanding calung. Sementara tamborin adalah jenis alat musik yang banyak ditemui. Umumnya ada dimusik dangdut untuk mengiringi suara kendang. Adapun gero-gero adalah alat musik yang terbuat dari batok kelapa. Untuk memunculkan bunyi, di dalamnya diisi dengan besi ringan.
Rawanawu digelar tidak hanya untuk mengiringi Kuda Pattudu. Secara mandiri mereka juga bisa menampilkan sebuah pertunjukkan yang memukau. Seperti yang terjadi saat sebelum acara deklarasi Nasdem di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Begitu Ketua Umum dan Sri Sultan HB X beserta rombongan tiba di ruang acara, sejurus kemudian sepasukan cilik yang tergabung dalam Komunitas Onedo Kece meluncur naik ke atas panggung. Mereka pun langsung membuat gebrakan dengan bunyi-bunyian Rebana Rawanawu yang bertalu-talu. Sontak ruangan megah di kota Polewali itu menjadi bergemuruh oleh riuh rendahnya tepuk tangan hadirin.
Onedo Kece sendiri pernah mendapat penghargaan sebagai penyaji dan pemusik terbaik saat tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sebelumnya mereka sering tampil di kota-kota lain di Sulawesi. Komunitas yang terdiri dari sebelas anak-anak sekolah dasar dan sebagian menengah pertama ini diasuh oleh Sahabudin. “Mereka dilatih sejak 2008,” katanya.
Kuda Pattudu dan Rawanawu ada mozaik keindahan budaya Indonesia yang luar biasa berharganya. Seyogyanya Restorasi Indonesia mampu menjaga kelestariannya.
Budaya mandar adalah budaya yang ada di provinsi sulawesi barat, dan masyarakatnya senantiasa melestarikan budaya tersebut tetapi sekarang sebagian daerah sudah mengkolaborasikan dengan sentuhan-sentuhan modern.
Mengenai budaya mandar, sangat banyak budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakat disana. Tapi kami mengambil hanya satu sample saja yaitu sayyang pattudu yang artinya kuda menari .
Sayyang pattudu (kuda menari), begitulah masyarakat suku mandar, Sulawesi Barat menyebut acara yang diadakan dalam rangka untuk mensyukuri anak-anak yang khatam (tamat) Alquran. Masyarakat di Sulawesi Barat tamat Alquran adalah sesuatu yang sangat istimewa, dan perlu disyukuri secara khusus dengan mengadakan pesta adat sayyang pattudu. Pesta ini diadakan sekali dalam setahun, bertepatan dengan bulan Maulid/Rabiul Awwal (kalender hijriyah). Dalam pesta tersebut menampilkan atraksi kuda berhias yang menari sembari ditunggangi anak-anak yang sedang mengikuti acara tersebut.
Bagi masyarakat Mandar, khatam Alquran dan upacara adat sayyang pattudu memiliki pertalian yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Acara ini mereka tetap lestarikan dengan baik. Bahkan masyarakat suku mandar yang berdiam di luar Sulawesi Barat akan kembali kekampung halamannya demi mengikuti acara tersebut. Penyelenggaraan acara ini sudah berlangsung lama, tapi tidak ada yang tahu pasti kapan acara ini diadakan pertama kali. Jejak sejarah yang menunjukkan awal pelaksanaan dari kegiatan ini belum terdeteksi oleh para tokoh masyarakat dan para sejarawan.
Keistimewaan dari acara ini adalah ketika puncak acara khatam Al-Quran dengan menggelar pesta adat Sayyang Pattudu dengan daya tarik tersendiri. Acara ini dimeriahkan dengan arak-arakan kuda mengelilingi desa yang dikendarai oleh anak-anak yang menyelesaikan khatam Alquran. Setiap anak mengendarai kuda yang sudah dihias dengan sedemikian rupa.
Kuda-kuda tersebut juga terlatih untuk mengikuti irama pesta dan mampu berjalan sembari menari mengikuti iringan musik tabuhan rebana, dan untaian pantun khas Mandar (kalinda’da’) yang mengiringi arak-arakan tersebut.
Ketika duduk diatas kuda, para peserta yang ikut pesta Sayyang Pattudu harus mengikuti tata atur baku yang berlaku secara turun temurun. Dalam Sayyang Pattudu, para peserta duduk dengan satu kaki ditekuk kebelakang, lutut menghadap kedepan, sementara satu kaki yang lainnya terlipat dengan lutut dihadapkan keatas dan telapak kaki berpijak pada punggung Kuda. Dengan posisi seperti itu, para peserta didampingi agar keseimbangannya terpelihara ketika kuda yang ditunggangi menari.
Peserta sayyang pattudu akan mengikuti irama liukan kuda yang menari dengan mengangkat setengah badannya keatas sembari menggoyang-goyangkan kaki dang menggeleng-gelengkan kepala agar tercipta gerakan yang menawan dan harmonis.
Ketika acara sedang berjalan dengan meriah, tuan rumah dan kaum perempuan sibuk menyiapkan aneka hidangan dan kue-kue yang akan dibagikan kepada para tamu. Ruang tamu dipenuhi dengan aneka hidangan yang tersaji diatas baki yang siap memanjakan selera para tamu yang datang pada acara tersebut.
Rangkaian acara tahunan ini, diikuti oleh sekitar 50 orang peserta tiap tahunnya, para peserta terhimpun dari berbagai kampung yang ada didesa tersebut, diantara para peserta ada juga yang datang dari desa atau kampung sebelah. Bahkan ada yang datang dari luar kabupaten,maupun luar provinsi Sulawesi Barat.
Pelaksanaan atau lokasi pesta adat Sayyang Pattudu biasanya diadakan didesa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
oleh Hasran Halim
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Tentang Sayyang Pattudu dari Polewali Mandar
Dua kuda itu langsung menggoyang-goyangkan kepalanya saat rebana-rebana itu berbunyi. Rebana yang ditabuh oleh sebelas bocah cilik yang lincah dan bersemangat itu seolah mengalunkan irama-irama magis yang mampu menggerakan kuda-kuda yang tengah menyambut Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh beserta rombongan saat tiba di lokasi acara deklarasi Nasional Demokrat provinsi Sulawesi Barat, beberapa waktu yang lalu. Saat bunyi rebana menghilang maka sang kuda pun akan menghentikan tariannya.
“Kuda menari” yang oleh warga Mandar, Sulawesi Barat, disebut dengan Sayang Pattudu itu, disiapkan untuk menyambut kedatangan tamu kehormatan bagi warga Polewali Mandar itu. Biasanya, pesta adat ini memang diadakan pada saat tertentu yang dipandang istemewa.
Sayyang Pattudu biasanya diadakan dalam rangka mensyukuri khatamnya anak-anak membaca Al Quran. Bagi warga Mandar, khatam Quran adalah momen yang istimewa sehingga perlu dirayakan. Bagi mereka, ada pertalian yang erat antara Sayyang Pattudu dengan momen khatam Quran ini.
Sayyang Pattudu atau bisa disebut Kuda Pattudu adalah kesenian asli masyarakat Mandar, Sulawesi Barat. Menurut Sahabudin Mahganna, seorang pegiat budaya, kesenian ini bermula dari para rombongan kerajaan yang melakukan perjalanan jauh dengan kuda. Selesai istirahat, saat mereka akan melanjutkan perjalanan, harus ada bunyi-bunyian yang agar kuda-kuda yang mereka tunggangi menjadi bersemangat. “Saat itulah didapati bahwa yang bisa menyatu dengan kuda-kuda itu adalah bunyi ritmis rebana yang berunyi akibat dari getar membran,” demikian Sahabudin menerangkan.
Bermula dari itulah seni-budaya tradisional yang pernah menjuarai Pentas Budaya Nasional di Jakarta pada tahun 2008 ini terus dikembangkan dan menjadi identitas budaya Suku Mandar.
Pada acara ini akan ada dua penunggang yang kesemuanya adalah wanita. Hanya saja, wanita yang duduk di depan adalah wanita dewasa sementara yang dibelakangnya adalah seorang gadis belia. Saat kedua penunggang ini menaiki sang kuda, mereka tidak akan langsung duduk. Mereka akan terlebih dahulu untuk melakukan prosesi untuk berdoa selama beberapa saat. Selain itu kedua penunggang kuda harus mengenakan pakaian tradisional setempat.
Ketika kedua penunggang itu bersiap maka tabuh rebana pun siap dikumandangkan. Menurut Sahabudin, hanya suara rebana ini saja yang bisa menggerakkan kuda-kuda ini untuk bergoyang. “Suara yang lain tidak akan bisa,” katanya.
Entah apa yang membuat keistimewaan ini, tetapi itulah yang ada. Memang, rebana yang mengiringi sang kuda untuk menari ini bukan sembarang rebana. Rebana ini disebut Rebana Rawanawu. “Ini adalah rebana khas orang Mandar,” kata Sahab, panggilan akrabnya.
Menurut jebolan jurusan musik Universitas Negeri Makasar tiga tahun yang lalu ini, Rawanawu adalah musik gabungan dari Arab (Islam) dengan budaya setempat.
Jenis alat musik ini mulai ada di wilayah Mandar sekitar abad ke 17. Oleh para pembawanya, agama Islam disiarkan dengan alat musik ini. Dalam perkembangannya Rawanawu tidak hanya terdiri atas rebana saja melainkan ada calong, tamborin, dan gero-gero.
Calong adalah alat musik yang terbuat dari bambu. Wujudnya mirip dengan calung, alat musik tradisional dari Sunda. Hanya saja calong lebih sederhana dibanding calung. Sementara tamborin adalah jenis alat musik yang banyak ditemui. Umumnya ada dimusik dangdut untuk mengiringi suara kendang. Adapun gero-gero adalah alat musik yang terbuat dari batok kelapa. Untuk memunculkan bunyi, di dalamnya diisi dengan besi ringan.
Rawanawu digelar tidak hanya untuk mengiringi Kuda Pattudu. Secara mandiri mereka juga bisa menampilkan sebuah pertunjukkan yang memukau. Seperti yang terjadi saat sebelum acara deklarasi Nasdem di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Begitu Ketua Umum dan Sri Sultan HB X beserta rombongan tiba di ruang acara, sejurus kemudian sepasukan cilik yang tergabung dalam Komunitas Onedo Kece meluncur naik ke atas panggung. Mereka pun langsung membuat gebrakan dengan bunyi-bunyian Rebana Rawanawu yang bertalu-talu. Sontak ruangan megah di kota Polewali itu menjadi bergemuruh oleh riuh rendahnya tepuk tangan hadirin.
Onedo Kece sendiri pernah mendapat penghargaan sebagai penyaji dan pemusik terbaik saat tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Sebelumnya mereka sering tampil di kota-kota lain di Sulawesi. Komunitas yang terdiri dari sebelas anak-anak sekolah dasar dan sebagian menengah pertama ini diasuh oleh Sahabudin. “Mereka dilatih sejak 2008,” katanya.
Kuda Pattudu dan Rawanawu ada mozaik keindahan budaya Indonesia yang luar biasa berharganya. Seyogyanya Restorasi Indonesia mampu menjaga kelestariannya.